Geosentris vs Heliosentris
Terkait geosentris vs heliosentris, konsep ini sudah lama sekali ditinggalkan di fisika. Saat ini para fisikawan tidak lagi mengatakan bahwa bumi atau matahari adalah pusat tata surya dan benda-benda langit lainnya di tata surya mengelilinginya. Akan tetapi, yang ada dalam teori fisika saat ini: gerak itu relatif. Anda tentukan sebuah acuan dulu, baru kemudian kita bisa berbicara setelahnya benda mana yang bergerak dan mana yang diam.
Kalau kita jadikan bumi sebagai acuan, maka tentu kita akan melihat matahari sebagai yang bergerak (relatif terhadap bumi). Kalau kita jadikan matahari sebagai acuan, maka sekarang bumilah yang bergerak (relatif terhadap matahari). Jadi ketika al-Qur’an menyebutkan matahari yang bergerak, kita bisa memahami bahwa asumsi acuannya adalah bumi. Dengan menjadikan bumi sebagai acuan, maka para sahabat di zaman dulu tidak akan kesulitan mencerna makna ayat, dan orang-orang di zaman ini tidak akan menafikan ataupun menyalahkannya, karena itu berarti jelas bahwa acuannya adalah bumi.
Jadi, yang harus dikoreksi adalah pemahaman bahwa “acuan gerak itu tidak bisa diganti”. Kalau kita memahami demikian, maka diskusinya kemudian menjadi kaku: matahari yang bergerak atau bumi yang bergerak? Seolah-olah kalau kita memilih salah satunya, maka pilihan yang satu lagi menjadi salah.
Dalam ilmu fisika saat ini, kita mau pilih acuannya sebagai bumi pun sangat bisa. Gerakan matahari, bulan, dan planet-planet lainnya dianalisa dengan menggunakan bumi sebagai acuan, itu sangat bisa. Akan tetapi, sangat rumit sekali nanti rumusnya. Akan jauh lebih mudah kalau kita gunakan matahari sebagai acuan, karena matahari jauh lebih besar daripada benda-benda langit lainnya di tata surya. Rumusannya menjadi jauh lebih sederhana jika kita jadikan matahari sebagai acuan. Itu mengapa di sekolah-sekolah SD-SMA masih diajarkan bahwa “bumilah yang mengelilingi matahari”. Padahal, yang benar adalah “kalau matahari dijadikan sebagai acuan, sehingga bumi dan benda-benda langit lainnya yang mengelilingi matahari, maka perumusannya menjadi jauh lebih mudah”. Kalau kita mau jadikan bumi sebagai acuan, boleh saja. Tapi perumusannya menjadi jauh lebih rumit. Gerakan merkurius jika dilihat dari bumi itu bentuk lintasannya ada zigzagnya, yang ini susah kalau dijabarkan secara matematik. Sedangkan kalau kita jadikan matahari sebagai acuan bagi gerakan merkurius, maka bentuk lintasannya adalah elips sederhana.
Analogi mudahnya, kalau kita lihat di setiap stasiun kereta api, ada angka yang menunjukkan ketinggian stasiun tersebut relatif terhadap permukaan air laut. Bandung misalnya 709 meter, Jogja 113 meter, Wates 18 meter. Kalau kita jadikan permukaan air laut sebagai acuan, maka perhitungannya menjadi mudah. Akan tetapi kalau kita jadikan Jogja sebagai acuan, maka nanti Bandung menjadi 596 meter, dan Wates menjadi -95 meter. Gimana membayangkan kalimat berikut: Stasiun Wates memiliki ketinggian -95 meter. Lebih susah lagi dengan stasiun Bukittinggi dan Medan, jika harus dibandingkan dengan Jogja untuk menentukan ketinggiannya.