Kapankah Waktu Puasa Arafah?

Selamat datang di daryusman.staff.ut.ac.id

Kapankah Waktu Puasa Arafah?

Berkata al-ustadz asy-syaikh al-faadhil Abdul hakim bin Amir abdat hafidzahur rahmaan:
Masalah 110. Kapankah Waktu Puasa Arafah?
Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (dia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗔𝗿𝗮𝗳𝗮𝗵?” Maka beliau menjawab, ”Ia (puasa pada hari Arafah) Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.”
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘀𝗵𝗮𝗵𝗶𝗵. telah diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.1162) dalam hadits yang panjang.
Fiqih Hadits:
Didalam hadits yang mulia ini terdapat dalil dan hujjah yang sangat kuat tentang waktu puasa Arafah, yaitu pada 𝗛𝗮𝗿𝗶 Arafah ketika manusia wuquf di Arafah. Karena puasa Arafah ini terkait dengan 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 dan 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁. Ia terikat 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 hanya dengan waktu saja seperti umumnya puasa-puasa yang lain. Tetapi juga dengan tempat.
Inilah yang membedakan!
Oleh karena puasa Arafah itu terkait dengan tempat, sedangkan Arafah hanya ada di satu tempat yaitu di Saudi Arabia di dekat kota Makkah, bukan di Indonesia atau di negeri-negeri yang lainnya, maka waktu puasa Arafah adalah ketika kaum muslimin wuquf di Arafah.
Contohnya Seperti tahun ini 1425 H/2004 M wuquf jatuh pada hari Rabu, maka kaum muslimin di Indonesia dan di seluruh negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adhha-nya pada hari Kamis. 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 sesudahnya, yakni puasanya pada hari kamis dan ‘iednya pada hari Jum’at, dengan alasan? mengikuti ru’yah di negeri masing-masing seperti halnya bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri!?
Pendapat seperti ini batil kalau tidak mau dikatakan sangat batil, karena telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗔𝗿𝗮𝗳𝗮𝗵, yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah.
Adapun hari sesudahnya bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied lagi tetapi hari Tasyriq.
𝘐𝘯𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢!
 
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘢, hujjah di atas lebih lemah dari sarang laba-laba, karena telah mempergunakan 𝘘𝘪𝘺𝘢𝘴 ketika 𝘕𝘢𝘴𝘩 telah ada.
Kaidah fiqqiyyah mengatakan,
“Apabila 𝘕𝘢𝘴𝘩 telah datang, maka batallah segala pendapat”.
 
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘨𝘢, Qiyas yang mereka gunakan merupakan qiyas yang berbeda dengan apa yang di qiyaskan atau 𝘘𝘪𝘺𝘢𝘴 𝘮𝘢’𝘢𝘭 𝘍𝘢𝘳𝘪𝘲
Tidak dapat disamakan hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu Syawwal dengan puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adhha.
Maka sabda Nabi ﷺ , “Puasalah karena melihat 𝘙𝘶’𝘺𝘢𝘩 (Ramadhan), dan berbukalah ketika melihat 𝘙𝘶’𝘺𝘢𝘩 (Syawwal)”. Jelas sekali untuk puasa di bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau negeri-negeri yang saling berdekatan mempunyai 𝘙𝘶’𝘺𝘢𝘩-nya sendiri-sendiri menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana saya telah jelaskan dengan luas di 𝘈𝘭 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘢𝘪𝘭 jilid 2 masalah ke 39.
 
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵, sebagian dari mereka mengatakan:
“Kami melaksanakan dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!?”
Ini adalah perkataan yang sangat batil yang telah atau dapat menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin!
Oleh karena itu tidak ada seorang pun Ulama yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri seperti perkataan yang sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
 
Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh mentaatinya, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah datang hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini.
Selain perkataan dan perbuatan mereka di atas telah menyerupai manhaj Khawarij secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu :
“berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak, dengan meninggalkan dalil yang bersifat khusus”.
Padahal ayat yang memerintahkan untuk taat kepada ulil amri juga tidak bersifat umum dan mutlak!
Maka ikutilah penjelasan tafsirnya dibawah ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisaa’: 59)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara 𝗺𝘂𝘁𝗹𝗮𝗸. Oleh karena itu Allah mengulang 𝗳𝗶’𝗶𝗹(kata kerja) “𝗮𝘁𝗵𝗶’𝘂”(أَطِيعُوا) ketika memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya.
 
Adapun ketaatan kepada 𝘜𝘭𝘪𝘭 𝘈𝘮𝘳𝘪 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 secara mutlak, tetapi terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah tidak mengulang kata kerja (fi’il) 𝗮𝘁𝗵𝗶’𝘂 ketika memerintahkan untuk menaati ulil amri. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, maka tidak boleh didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Kitab dan Sunnah dari hadits-hadits shahih.
 
Karena kalau kita taati perintah ulil amri yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah menjadikan ulil amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang ditaati perintah dan larangannya secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab dari orang-orang Yahudi dan Nashara.
Tetapi sangat penting kita ketahui, bahwa larangan tidak boleh mendengar dan mentaati perintah ulil amri yang menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan kepada kita untuk memberontak yang kemudian menjatuhkannya atau yang semakna dengannya, sebagaimana perbuatan ahli bid’ah dan firqah-firqah sesat seperti khawarij dan mu’tazilah serta yang sepaham dengan mereka.
 
Akan tetapi ada cara yang diajarkan oleh islam dalam menasehati dan memperingati ulil amri yang zhalim atau yang memerintahkan maksiat atau yang perintahnya menyalahi keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah ialah dengan berpegang dan mengikuti kitab-Nya Al-Qur’an. Mengimaninya, meyakini akan kebenarannya bahwa ia dari sisi Allah, memahaminya dengan benar, mengamalkannya dan menda’wahkannya.
 
Adapun ketaatan kepada Rasul dengan berpegang dan mengikuti Sunnahnya. Ayat yang mulia ini menjadi sebesar-besar dalil dan hujjah akan kedudukan dan ketinggian serta kemuliaan Sunnah, bahwa mentaati Rasul yakni dengan mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik terdapat di dalam Al-Qur’an atau tidak, sama saja, kewajiban kita mentaati dan mengikutinya.
 
Jelas sekali dari ayat yang mulia kita mengetahui: bahwa orang yang meninggalkan Sunnah dengan sendirinya dia telah meninggalkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah secara mutlak.
bahwa orang yang menjadikan dalil 𝘢𝘲𝘭𝘪 (yang diputuskan oleh akal) sebagai asas, kemudian dalil 𝘯𝘢𝘲𝘭𝘪 (yang diambil dari Al-Qur’an dan As Sunnah) mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka telah menjadikan akal-akal mereka sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah). Maka mereka ini adalah orang-orang yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan tingkat kesesatan mereka.
 
Kemudian , pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan segala sesuatu yang mereka perselisihkan dari urusan dunia dan akherat kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Karena didalam Al-Kitab dan Sunnah mereka akan mendapati penjelasan dan penyelesaian tentang hukum yang mereka perselisihkan.
 
Adalah sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi ketika Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perselisihan kepada Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya kemudian mereka tidak mendapatinya!?.
Pasti mereka akan mendapati keputusan dari apa yang mereka perselisihkan kalau sekiranya mereka benar-benar mengembalikan kepada keduanya. Dengan syarat tentutnya mengembalikan kepada keduanya itu dengan cara yang benar, yaitu dengan 𝗶𝗹𝗺𝘂 dan 𝗸𝗲𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻 bukan dengan 𝗸𝗲𝗯𝗼𝗱𝗼𝗵𝗮𝗻 dan 𝗵𝗮𝘄𝗮.
 
Hal ini -Yakni mengembalikan kepada Al kitab dan Sunnah saat berlainan pendapat- menjadi bukti bahwa kita memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Kemudian buah yang akan dihasilkan dari mengembalikan segala urusan perselisihan kepada Al kitab dan As Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir dengan kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kamu.
 
[Disalin dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 hal. 117 oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat -hafidzahur rahman-. (Maktabah Muawiyah – Jakarta, Cetakan Pertama dalam terbitan baru bersama takhrij dan tahqiq ilmiyyahnya, 2021 M]
 
https://www.facebook.com/photo/?fbid=10226770374196937&set=a.3628151713911&__cft__[0]=AZWVmiCFOUHC2Z7x8rE5eystkqZscVBgJR4oqhHG7D70sRl5O0W7F4fYXCfEvdxnsSc0Wwshzb_XIV9w2yqvC3kB9PevGgpLWGTtZIJV05C6qlsgcddDWk5Fd0YORMOPfBXpxqXzlcPHGJQT15y02RXbUFbStqwJ0rYF8Z_mUanJxpHVEZd0cpQPK-ZWZsDNVdF8Zlxrot8yB_yXDNXsxw8r&__tn__=EH-y-R

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *